Rabu, 16 Februari 2011

DIABETES MELLITUS



A.    Pengertian
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

B.     Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
  1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
  2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
  3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
  4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)

C.    Etiologi
  1. Diabetes tipe I:
a.       Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b.      Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
c.       Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
  1. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a.       Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b.      Obesitas
c.       Riwayat keluarga




















D.     Patofisiologi/Pathways
 
Defisiensi Insulin


 

                                                   glukagon↑                                penurunan pemakaian
glukosa oleh sel

                                 glukoneogenesis                                  hiperglikemia


 

       lemak                        protein                             glycosuria

   ketogenesis                     BUN↑                        Osmotic Diuresis


Kekurangan volume cairan
 
 

     ketonemia            Nitrogen urine ↑                   Dehidrasi

Mual muntah
 
         ↓ pH                                                                Hemokonsentrasi









 

Resti Ggn Nutrisi
Kurang dari kebutuhan
 
                    Asidosis                                                                Trombosis


§  Koma
§  Kematian
 
 

                                                                                                 Aterosklerosis


 

Mikrovaskuler
 
Makrovaskuler
 
   


 










E.     Tanda dan Gejala
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
1.     Katarak                                               
2.     Glaukoma
3.     Retinopati
4.     Gatal seluruh badan
5.     Pruritus Vulvae
6.     Infeksi bakteri kulit
7.     Infeksi jamur di kulit
8.     Dermatopati
9.     Neuropati perifer
10. Neuropati viseral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi

Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.
F.      Pemeriksaan Penunjang
  1. Glukosa darah sewaktu
  2. Kadar glukosa darah puasa
  3. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu
-          Plasma vena
-          Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
-          Plasma vena
-          Darah kapiler


< 100
<80


<110
<90


100-200
80-200


110-120
90-110


>200
>200


>126
>110
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1.      Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2.      Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3.      Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

G.    Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1.      Diet
2.      Latihan
3.      Pemantauan
4.      Terapi (jika diperlukan)
5.      Pendidikan

H.    Pengkajian
§  Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
§  Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
§  Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.

§  Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
§  Integritas Ego
Stress, ansietas
§  Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
§  Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
§  Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.
§  Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
§  Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
§  Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.

I.        Masalah Keperawatan
  1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
  2. Kekurangan volume cairan
  3. Gangguan integritas kulit
  4. Resiko terjadi injury

J.       Intervensi
  1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
      Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
§  Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
§  Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
§  Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
§  Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.
§  Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
§  Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
§  Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
§  Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
§  Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
§  Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
§  Kolaborasi dengan ahli diet.

  1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :
§  Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
§  Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
§  Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
§  Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
§  Pantau masukan dan pengeluaran
§  Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung
§  Catat hal-hal  seperti mual, muntah dan distensi lambung.
§  Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur
§  Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)

  1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).
      Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan    penyembuhan.
Kriteria Hasil :
Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
Intervensi :
§  Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.
§  Kaji tanda vital
§  Kaji adanya nyeri
§  Lakukan perawatan luka
§  Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
§  Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.



  1. Resiko terjadi injury berhubungan dengan  penurunan fungsi penglihatan
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
Intervensi :
§  Hindarkan lantai yang licin.
§  Gunakan bed yang rendah.
§  Orientasikan klien dengan ruangan.
§  Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
§  Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi




DAFTAR PUSTAKA

Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.

Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.

Ikram, Ainal,  Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.

Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002

KEJANG DEMAM




A.    PENGERTIAN
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan.(betz & Sowden,2002)
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu rektal diatas 380 C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Jadi kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.

B.    ETIOLOGI
Infeksi ekstrakranial , misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas

C.    PATOFISIOLOGI
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut dengan akibat teerjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama ( lebih dari 15 menit ) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.

Infeksi ekstrakranial : suhu tubuh
 
Pathway

 





















 












D.    MANIFESTASI KLINIK
1.     Kejang parsial ( fokal, lokal )
a.      Kejang parsial sederhana :
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
  Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
  Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
  Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan ajtuh dari udara, parestesia.
  Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.

b.      Kejang parsial kompleks
  Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks
  Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap – ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang – ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
  Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku

2.     Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a.      Kejang absens
  Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
  Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
  Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh



b.      Kejang mioklonik
  Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
  Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
  Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
  Kehilangan kesadaran hanya sesaat.

c.      Kejang tonik klonik
  Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
  Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
  Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
  Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal

d.     Kejang atonik
  Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.
  Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

E.    KOMPLIKASI
1.     Aspirasi
2.     Asfiksia
3.     Retardasi mental

F.     UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK
1.     Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2.     Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3.     Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT
4.     Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak
5.     Uji laboratorium
§  Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
§  Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
§  Panel elektrolit
§  Skrining toksik dari serum dan urin
§  GDA
§  Kadar kalsium darah
§  Kadar natrium darah
§  Kadar magnesium darah

G.   PENATALAKSANAAN MEDIS
1.     Memberantas kejang Secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
2.     Pengobatan penunjang
Sebelum memberantas kejang tidak boleh Dilupakan perlunya pengobatan penunjang
§  Semua pakaian ketat dibuka
§  Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
§  Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen, bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi.
§  Penhisapan lendir harus dilakukan secara tertur dan diberikan oksigen.
3.     Pengobatan rumat
§  Profilaksis intermiten
Untuk mencegah kejang berulang, diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipietika. Profilaksis ini diberikan  sampai kemungkinan sangat kecil anak mendapat kejang demam sederhana yaitu kira - kira sampai anak umur 4 tahun.
§  Profilaksis jangka panjang
Diberikan pada keadaan
Y  Epilepsi yang diprovokasi oleh demam
Y  Kejang demam yang mempunyai ciri :
-         Terdapat gangguan perkembangan saraf seperti serebral palsi, retardasi perkembangan dan mikrosefali
-         Bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, berdifat fokal atau diikiuti kelainan saraf yang sementara atau menetap
-         Riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
-         Kejang demam pada bayi berumur dibawah usia 1 bulan
4.     Mencari dan mengobati penyebab

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEJANG DEMAM
A.    Pengkajian
Pengkajian neurologik :
1.     Tanda – tanda vital
 Suhu
 Pernapasan
 Denyut jantung
 Tekanan darah
 Tekanan nadi
2.     Hasil pemeriksaan kepala
 Fontanel : menonjol, rata, cekung
 Lingkar kepala : dibawah 2 tahun
 Bentuk Umum
3.     Reaksi pupil
 Ukuran
 Reaksi terhadap cahaya
 Kesamaan respon
4.     Tingkat kesadaran
 Kewaspadaan : respon terhadap panggilan
 Iritabilitas
 Letargi dan rasa mengantuk
 Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
5.     Afek
 Alam perasaan
 Labilitas
6.     Aktivitas kejang
 Jenis
 Lamanya
7.     Fungsi sensoris
 Reaksi terhadap nyeri
 Reaksi terhadap suhu
8.     Refleks
 Refleks tendo superfisial
 Reflek patologi
9.     Kemampuan intelektual
 Kemampuan menulis dan menggambar
 Kemampuan membaca


B.    Diagnosa keperawatan
1.     Resiko tinggi cidera
2.     Gangguan citra tubuh
3.     Resiko tinggi koping keluarga dan koping individu tidak efektif

C.    Intervensi keperawatan
1.     Kejang
 Lindungi anak dari cidera
 Jangan mencoba untuk merestrain anak
 Jika anak berdiri atau duduk sehingga terdapat kemungkinan jatuh, turunkan anak tersebut agar tidak jatuh
 Jangan memasukan benda apapun kedalam mulut anak
 Longgarkan pakaiannya jika ketat
 Cegah anak agar tidak trpukul benda tajam, lapisi setiap benda yang mungkin terbentur dengan anak dan singkirkan semua benda tajam dari daerah tersebut
 Miringkan badan anak untuk mem fasilitasi bersihan jalan nafas dari sekret
2.     Lakukan observasi secara teliti dan catat aktiitas kejang untuk membantu diagnosis atau pengkajian respon pengobatan
 Waktu awitan dan kejadian pemicu
 Aura
 Jenis kejang
 Lamanya kejang
 Intervensi selama kejang
 Tanda tanda vital





DAFTAR PUSTAKA

1.      Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
2.      Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa : Maulanny R.F. Jakarta : EGC.
3.      Arjatmo T.(2001). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : gaya baru
4.      Kejang Pada Anak. www. Pediatrik.com/knal.php